Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Presidenthial Threshold Corong Oligarki Merusak Tatanan Bernegara



Polemik Presidenthial Threshold (PT) atau ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden kembali memanas mendekati momentum pemilihan umum. Hal itu terjadi sebab PT dinilai menghalangi, mengekang atau membatasi hak konstitusional warganegara untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Gelombang penolakan oleh berbagai kalangan terus bergulir mulai dengan cara penggalangan opini, maupun dengan mekanisme konstitusional mengajukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi oleh orang perorangan, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hingga elit politik yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden yang merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan baik dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden maupun haknya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Masalah ini satu dari sekian banyak masalah yang menggerogoti demokrasi Indonesia hingga saat ini.


Sejarah Presidenthial Threshold


Flashback Pemilu Tahun 2003


Latar belakang dimajukan PT dalam pemilihan umum masih merupakan sesuatu yang belum terjawab tuntas sampai hari ini. Penelusuran kita terhadap sejarah munculnya Presidenthial Threshold (PT) dalam pergelaran pemilihan umum dari periode ke periode di Indonesia akan menghantarkan kita pada era pasca amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau pasca reformasi tepatnya pada tahun 2003 dan mulai digunakan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pada Tahun 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2003 bahwa "Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik". 


Ketentuan tersebut dijabarkan pada Pasal 5 ayat (4) bahwa "Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR". Hanya saja penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada masa ini masih terpisah dilaksanakan tersendiri dengan undang-undang yang juga tersendiri setelah pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun pemilihan anggota legislatif dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 


Flashback Pemilu Tahun 2009


Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2009 masih dilaksanakan secara terpisah dengan pemilihan umum anggota parlemen. Tetapi pelaksanaannya tidak lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, melainkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara terpisah dengan pemilihan anggota parlemen ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa "Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD". Adapun perihal tidak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2003 hal itu dapat dilihat dari konsideran menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, "bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak sesuai dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga Undang-Undang tersebut perlu diganti". 


Ketentuan PT diatur dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden". Secara substansial ketentuan PT dalam UU No. 42 Tahun 2008 masih sama dengan pengaturan PT dalam UU No. 23 Tahun 2003. Hanya saja ada perubahan persentase threshold dari yang semula sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPR atau  20% dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR, berubah menjadi sekurang-kurangnya 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR.


Flashback Pemilu Tahun 2014


Memasuki pemilihan umum tahun 2014 polemik PT semakin berkembang dan menimbulkan kegaduhan hingga menjadi pembicaraan hangat di kalangan para ahli hukum tata negara khususnya dan menjadi sorotan media selama berminggu-minggu. Sebab pada rentang tahun 2013-2014 PT sidangkan ke Mahkamah Konstitusi untuk di uji materil meminta agar Mahkamah Konstitusi memutuskan konstitusionalitas pasal-pasal yang mengatur tentang PT dalam UU No. 42 Tahun 2008. Permohonan pengujian PT yang disidangkan Mahkamah Konstitusi adalah permohonannya Efendi Ghazali dengan batu uji diantaranya Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), dan ayat (2), Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Adapun pasal-pasal yang di uji yaitu Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008. 


Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 mengabulkan permohonan pemohon. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. 


Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan banyak masalah secara mendasar dari sisi ketatanegaraan sehingga ramai dipersoalkan. Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusannya banyak dipermasalahkan sebab dinilai menimbulkan kekacauan hukum yang serius. Sebenarnya pembahasan tentang ini cukup panjang tetapi dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengemukakan inti permasalahannya secara lebih ringkas. Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk melakukan analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan PT. Sebab dengan membahasnya disini maka tulisan ini akan menjadi sangat panjang dan menjenuhkan untuk dibaca. Oleh karena itu perlu tulisan yang tersendiri pula untuk melakukan kajian secara komprehensif. Barangkali saya akan melakukan kajian itu di kesempatan yang lain. Amar putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah disebutkan di dukung dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi yang juga banyak banyak dipersoalkan sehingga turut mengundang perdebatan tajam yang tidak dapat dihindari. Diantara pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut sebagaimana dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yaitu:


"Bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan. Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-persiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir, sehingga apabila Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945";


"Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum haruslah diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif";


"Langkah membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas atau bertentangan dengan UUD 1945 suatu Undang-Undang pernah dilakukan Mahkamah dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006. Menurut putusan Mahkamah tersebut, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, paling lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK tersebut; dan juga dalam Putusan Nomor 026/PUU-III/2005, bertanggal 22 Maret 2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006, yang hanya membatasi akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah sepanjang menyangkut batas tertinggi Anggaran Pendidikan";


"Merujuk pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 026/PUU-III/2005 tersebut, maka dalam perkara ini pembatasan akibat hukum hanya dapat dilakukan dengan menangguhkan pelaksanaan putusan a quo sedemikian rupa sampai telah terlaksananya Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2014. Selanjutnya, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan harus mendasarkan pada putusan Mahkamah a quo dan tidak dapat lagi diselenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara terpisah. Selain itu, Mahkamah berpendapat memang diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan;


"Meskipun Mahkamah menjatuhkan putusan mengenai Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, namun menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga  Perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.


Selain itu pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan judicial review beberapa ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 2008 juga dinilai janggal dan bermasalah secara hukum. Hal itu mengacu kepada kenyataan bahwa putusan yang sebenarnya telah keluar pada 30 Maret 2013, namun baru diumumkan pengabulannya pada 23 Januari 2014. Sebenarnya putusan PT telah seringkali dimohonkan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, terutama sejak disahkannya UU No. 42 Tahun 2008. Hal itu dapat dilihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi diantaranya yaitu Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008, bertanggal 17 Februari 2009, Putusan Nomor 51-52-7259/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 bertanggal 14 September 2009, dan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengundang banyak polemik seperti yang telah dikemukakan. Upaya untuk menghapuskan PT dalam undang-undang pemilihan umum tidak berhenti sampai disitu saja, permohonan judicial review masih terus berlanjut.


Flashback Pemilu Tahun 2019


Pemilihan umum tahun 2019 dilaksanakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tidak diberlakukannya lagi UU No. 42 Tahun 2008 adalah imbas dari putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan pembentuk undang-undang membentuk undang-undang pemilihan umum yang baru untuk mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dan menyempurnakan regulasi pemilihan umum. Sungguhpun UU No. 42 Tahun 2008 tidak berlaku lagi namun ketentuan tentang PT tidak lantas menjadi hapus atau ditiadakan sama sekali. PT tetap saja diberlakukan. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. 


PT dalam undang-undang ini lagi-lagi dipersoalkan baik pada pemilihan umum tahun 2019 lalu maupun pada pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang. Titik masalahnya diantaranya bahwa dengan telah diputuskannya oleh Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serentak dengan pemilihan umum anggota legislatif maka dengan sendirinya menurut logika hukum PT tidak relevan lagi untuk terus diberlakukan. Sebab pada undang-undang pemilihan umum sebelumnya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden berpedoman kepada pemilihan anggota legislatif yang dilaksanakan lebih dahulu. Tampaknya masalah akan terus bermunculan sampai PT benar-benar dihapuskan dalam undang-undang pemilihan umum. Kondisi ini di satu sisi dapat dimaklumi sebab PT kenyataannya menjadi senjata paling ampuh partai politik rezim yang berkuasa untuk membungkam lawan politik dan menjadi benteng para oligarki untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.


Presidenthial Threshold Benteng Oligarki


Diakui atau tidak terlepas dari pendapat yang mendukung PT perlu terus diberlakukan, kenyataannya PT menjadi senjata paling ampuh dan benteng paling kokoh untuk menghalangi dan membatasi hak dan kesempatan orang-orang yang punya kualitas dan yang pantas untuk dimajukan dalam bursa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan PT ini orang-orang yang memiliki catatan kepemimpinan yang baik, yang mengerti ketatanegaraan, soal-soal kebangsaan, keberagamaan, kebhinekaan, peka dan terbuka pada isu-isu internasional menjadi termarginalkan akibat tidak mendapat dukungan dari partai politik yang menjadi peserta dalam pemilihan umum. Akhirnya pemerintahan negara diurus oleh orang-orang yang secara kompetensi memimpin rendah ditambah kualitas dan moralitas yang juga rendah. Selain itu PT juga dimanfaatkan oleh para oligarki (segelintir orang yang mengendalikan dan menentukan kebijakan pemerintahan) untuk mengontrol kebijakan dalam pemerintahan dengan mendudukkan orang-orangnya, yakni mereka yang telah dibina dibawah asuhan oligarki dan merelakan dirinya mengabdi untuk kepentingan oligarki. 


Dengan demikian kerusakan dalam pengelolaan pemerintahan negara terjadi secara sistematis dan masif mulai dari level Presiden sampai pada level kabupaten/kota se-Indonesia. Hal itu akibat salah urusnya negara dengan mendudukkan orang-orang yang tidak layak dan tidak peduli pada nasib bangsa ini. Dalam perkembangannya oligarki bekerjasama pula dengan kapitalis untuk mengeksploitasi sumber-sumber produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi, batubara dan lain sebagainya. Mereka bersekongkol untuk memperkaya diri setelah berhasil mempertahankan kekuasaan dan mengontrol kebijakan pemerintahan. Oligarki dan kapitalis ini tidak peduli dengan urusan kesejahteraan rakyat, soal kemiskinan, pendidikan, penegakan hukum semuanya terbiarkan begitu saja dengan masalah-masalahnya. Dengan disain pemilihan umum yang tunduk dibawah kuasa oligarki melalui PT yang dijadikan standar, pemilihan umum berapa kalipun sama sekali tidak berpengaruh terhadap perbaikan kondisi bangsa ini di hampir di semua aspeknya secara mendasar. 


Rakyat sekali lima tahun dipaksa mencoblos orang-orang yang diusung oleh oligarki dan dengan terpaksa rakyat harus menyerahkan pengelolaan negara dan nasib dirinya kepada oligarki tanpa dapat melakukan perlawanan yang berarti sebagai pembelaan dirinya. Dibawah kuasa oligarki mendatangkan masalah lain yang sangat serius yaitu tergadaikannya kedaulaatan Indonesia baik secara ekonomi, politik, hukum nasional maupun politik internasional. Padahal perjuangan memerdekaan negeri ini adalah untuk menghapuskan penjajahan dan menjadi negara yang berdaulat sehingga dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain. Perjuangan memerdekakan negeri ini juga untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini agar dihormati dan dihargai oleh bangsa lain. Dengan demikian kita memiliki kewibawaan sebagai sebuah bangsa yang merdeka melalui perjuangan yang panjang. 


Tetapi dibawah kuasa oligarki, kita kehilangan itu semua. Semua pencapaian founding fathers (para pendiri negara) kita dahulu sirna dengan mudahnya bagaikan debu ditiup angin. Dihadapan bangsa lain kita dipandang lemah, tidak punya bargaining position, disepelekan, ditertawakan, mirisnya lagi bangsa ini ditindas dan diperbudak melalui berbagai kebijakan pro asing. Hal itu terjadi baik karena hutang luar negeri, tidak adanya keseriusan elit politik terutama dari partai politik rezim yang berkuasa untuk membenahi bangsa dan negara ini, ditambah mentalitas budak elit politik yang selalu merengek pada kapitalis untuk dicukupi kebutuhan hidupnya dengan jalan mengobral berbagai macam izin hingga puluhan tahun lamanya yang dengan izin itu perusahaan asing dapat terus bercokol dan menguasai perekonomian nasional. Demikianlah kedaulatan negeri ini dapat tergadaikan dengan sangat mudah sehingga pendulum sejarah bangsa ini membawa kita mundur kembali menuju empat ratus tahun lalu dimana kita tidak punya apa-apa, terhinakan, dijajah dan diperbudak.


Oleh :  Syahdi  (Pemerhati Hukum dan Konstitusi)


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad


Below Post Ad

Mari bergabung bersama WA Grup dan Channel Telegram TriasPolitica.net. Klik : WA Grup & Telegram Channel

Ads Bottom

Copyright © 2023 - TriasPolitica.net | All Right Reserved