Damaskus, 6 Oktober 2025 : Komite lokal di Suriah pada Ahad (5/10) mulai memberikan suara untuk memilih anggota parlemen transisi pertama setelah tumbangnya rezim Bashar al-Assad. Proses ini menjadi langkah awal pemerintahan baru di bawah Presiden Ahmed Al-Sharaa dalam membentuk struktur politik pascaperang yang lebih stabil, meski menuai kritik atas kurangnya partisipasi langsung rakyat.
Pemungutan suara berlangsung di berbagai daerah yang berada di bawah kendali pemerintah baru, termasuk di Perpustakaan Nasional Damaskus—yang sebelumnya dikenal sebagai Perpustakaan Nasional Assad. Komisi Pemilihan Umum Suriah menyatakan bahwa pemungutan suara telah berakhir pada malam hari dan proses penghitungan sedang berlangsung.
Seorang anggota panitia pemilihan di Damaskus mengatakan kepada AFP bahwa sebagian hasil awal mungkin diumumkan pada Minggu malam, sementara daftar lengkap anggota parlemen baru diperkirakan akan dirilis pada Senin. Sekitar 6.000 anggota komite lokal berpartisipasi dalam proses seleksi ini.
Menurut komisi tersebut, sebanyak 1.500 calon—hanya 14 persen di antaranya perempuan—bersaing untuk menduduki kursi parlemen yang berjumlah 210. Dari total itu, 70 anggota akan ditunjuk langsung oleh Presiden Ahmed Al-Sharaa, sementara dua pertiga sisanya dipilih oleh komite lokal yang juga dibentuk oleh komisi pemilihan, lembaga yang penunjukannya berada di bawah kewenangan Sharaa.
Namun, dua wilayah utama tidak ikut serta dalam proses ini: Provinsi Sweida di selatan yang mayoritas penduduknya berasal dari komunitas Druze dan wilayah timur laut yang dikuasai oleh kelompok Kurdi. Kedua daerah itu saat ini berada di luar kendali Damaskus, dan 32 kursinya akan dibiarkan kosong hingga kondisi memungkinkan.
Bagi sebagian warga, proses ini dinilai belum memenuhi standar demokrasi. “Saya mendukung otoritas yang ada dan siap membelanya, tapi ini bukan pemilu yang sesungguhnya,” ujar Louay Al-Arfi, 77 tahun, seorang pensiunan pegawai negeri di Damaskus. “Ini memang perlu di masa transisi, tapi kami ingin pemilu langsung sesudahnya,” tambahnya.
Setelah penggulingan Assad pada Desember lalu, pemerintahan baru membubarkan parlemen lama yang dianggap sekadar lembaga stempel kebijakan rezim. Berdasarkan konstitusi sementara yang diumumkan pada Maret, parlemen transisi ini akan menjalankan fungsi legislatif selama masa transisi hingga konstitusi permanen disahkan dan pemilu langsung dapat digelar.
Presiden Sharaa mengakui adanya kritik terhadap proses seleksi ini. Berbicara di Perpustakaan Nasional pada Minggu, ia mengatakan, “Memang benar bahwa proses elektoral ini belum sempurna... namun ini merupakan langkah moderat yang sesuai dengan situasi dan kondisi Suriah saat ini.” Ia menambahkan bahwa penyelenggaraan pemilu langsung saat ini tidak memungkinkan, mengingat jutaan warga Suriah kehilangan dokumen identitas akibat konflik berkepanjangan.
Syarat bagi calon anggota parlemen antara lain tidak boleh menjadi pendukung rezim lama dan tidak boleh menyuarakan gagasan separatisme atau pembagian wilayah. Dari jajaran calon, terdapat nama Henry Hamra, warga Suriah-Amerika keturunan Yahudi, yang menjadi kandidat Yahudi pertama sejak 1940-an.
Menurut anggota komite pemilihan Damaskus sekaligus kandidat, Hala Al-Qudsi, parlemen baru akan memikul tanggung jawab besar dalam menentukan arah masa depan negara. “Tugas utama parlemen ini adalah menandatangani dan meratifikasi perjanjian internasional yang akan membawa Suriah memasuki fase baru. Ini adalah tanggung jawab besar,” ujarnya.
Sumber : Arabnews | Weblink : https://www.arabnews.com/node/2617799/middle-east