TriasPolitica.net : Presiden terpilih Prabowo Subianto akan bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Kabar ini hampir dipastikan kebenarannya, sebab elite kedua pihak sudah mengonfirmasi. Namun, kapan waktunya, belum ada yang bisa menyebut kecuali Prabowo dan Megawati.
Pertemuan kedua tokoh nasional itu dinilai bakal membahas sejumlah hal penting, salah satunya terkait peluang PDIP bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Kemungkinan ini pun tidak dipungkiri. Sejumlah elite PDIP sudah memberikan sinyal akan berkoalisi dengan Prabowo-Gibran. Apalagi, kubu Prabowo juga sudah terang-terangan mengajak PDIP untuk bergabung.
Semua partai politik pun sudah hampir bergabung ke dalam koalisi kekuasaan. Tinggal PDI Perjuangan yang belum masuk ke koalisi Prabowo-Gibran. Itu pun tergantung pertemuan Prabowo dengan Megawati, yang dinilai banyak pihak akan membahas mengenai koalisi untuk lima tahun ke depan.
Jika PDIP tertarik untuk diajak bergabung ke dalam kekuasaan pemerintah, maka dipastikan tidak ada oposisi. Fungsi DPR sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah tidak berjalan. Demokrasi di negara ini pun tidak sehat.
"Bisa dipastikan, kabar oposisi di DPR, Senayan, wasalam. Karena tak ada partai yang berada di luar kekuasaan. Bahwa DPR itu mestinya check and balance, ya, tidak bisa dibantah. Tapi di negara ini kalau sudah berkoalisi dengan pemerintah, berkoalisi dengan pemenang, fungsi check and balance di DPR itu tidak berfungsi, tidak berguna," kata pengamat politik Adi Prayitno.
Sehingga, apa pun produk kebijakan dari pemerintah, tidak akan mendapat hambatan di DPR. "Karena mustahil di parlemen akan terjadi protes atau penolakan terkait dengan kebijakan pemerintah, sementara partainya bergabung dengan pemerintah," Adi menambahkan.
Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan, jika PDIP bergabung dengan Prabowo-Gibran, maka rakyat tidak bisa lagi berharap pada DPR.
"Tentu ini menjadi evaluasi kita semua bahwa partai-partai itu semuanya ingin masuk pemerintahan, semuanya ingin berkuasa, semuanya ingin jabatan, semuanya happy. Elite-elite itu semuanya happy, rakyat ditinggalkan," kata Ujang.
Jika sudah tidak ada lagi partai di luar kekuasaan, maka yang memungkinkan adalah rakyat sendiri yang berperan sebagai oposisi. Namun, check and balance-nya dilakukan di luar parlemen.
"Mungkin nanti yang beroposisi ini adalah akademisi, para pengamat, mahasiswa, rakyat. Oposisinya oposisi nonparlemen, di luar parlemen. Jadi oposisi tidak dilakukan oleh partai politik, tapi oleh rakyat. Kelihatannya seperti itu ketika di parlemennya tidak ada oposisi," tuturnya.
"PDIP yang mestinya bersikap sebagai oposisi, ternyata tergoda juga masuk ke pemerintahan. Rakyat akan menilai bahwa tidak ada yang berani menjadi oposisi. Padahal PDIP dalam sejarahnya punya keberanian untuk menjadi oposisi, tapi di pemerintahan ke depan berkoalisi," Ujang menambahkan.
Jamiluddin Ritonga menilai jika PDIP berkoalisi dengan pemerintahan Prabowo, akan terjadi kemunduran demokrasi. Sebab, tidak ada satu pun partai parlemen yang menjadi oposisi, untuk menjalankan fungsi check and balance.
"Tentu hal ini menjadi tragedi nasional. Disebut tragedi, karena sangat ironi di negara demokrasi tidak ada oposisi. Karena itu, akan terjadi bencana demokrasi di Tanah Air. Sebab, tanpa oposisi, Indonesia akan kehilangan esensi demokrasi. Indonesia hanya berlabel demokrasi, tapi praktiknya sudah menjadi negara otoriter," kata Jamil. ***