Jakarta, 10 November 2025 - Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (10/11/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan. Prosesi penganugerahan digelar di Istana Negara, dengan putrinya, Titiek Soeharto, mewakili keluarga dalam penerimaan gelar tersebut.
Penganugerahan ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Dalam seremoni simbolis, Presiden Prabowo menyerahkan langsung piagam penghargaan kepada Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto.
Soeharto memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dimulai setelah terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 hingga berakhirnya kekuasaan pada 1998 ketika Reformasi bergulir. Dalam penetapan tahun ini, Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan bersama sembilan tokoh lain, termasuk Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ulama Nahdlatul Ulama Muhammad Kholil, serta aktivis buruh era Orde Baru Marsinah.
"Jenderal Soeharto menonjol sejak masa kemerdekaan. Sebagai wakil komandan BKR Yogyakarta ia memimpin pelucutan senjata di Jepang, Kota Baru 1945," demikian petikan informasi yang dibacakan di Istana Negara Jakarta.
Namun, penganugerahan gelar ini memunculkan respons beragam di tengah masyarakat. Sejumlah kelompok masyarakat sipil menyampaikan keberatan, menilai rekam jejak Soeharto masih menyisakan catatan pelanggaran HAM, praktik otoritarianisme, serta tudingan korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa pemerintahannya.
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) melalui Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya menyatakan keputusan tersebut mengecewakan. Ia menyebut usulan ini bukan hal yang mengejutkan, namun tetap menimbulkan kekecewaan bagi kelompok yang memperjuangkan penegakan HAM.
Penolakan juga datang dari Mustasyar PBNU, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Ia menyatakan banyak ulama pesantren dan warga Nahdlatul Ulama mengalami perlakuan tidak adil pada masa pemerintahan Orde Baru. “Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus di Rembang, Jawa Tengah.
Meski demikian, pemerintah menilai penganugerahan ini dilakukan berdasarkan pertimbangan sejarah dan kontribusi Soeharto terhadap pembangunan dan stabilitas nasional pada masa kekuasaannya. Perdebatan terkait warisan kepemimpinan Soeharto diperkirakan tetap berlanjut di ruang publik seiring dinamika penilaian sejarah di Indonesia. *






