JAKARTA — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kubu Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menolak klaim pemberhentian dirinya yang disebut-sebut diputuskan dalam Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025. Melalui surat resmi yang dikirimkan kepada Kementerian Hukum (Kemenkum), kubu Gus Yahya menegaskan bahwa keputusan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan dinilai tidak sah.
Dalam surat bertanggal Rabu (10/12) yang ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dan Wakil Sekretaris PBNU Najib Azca, dijelaskan bahwa mekanisme pemilihan Ketua Umum PBNU telah diatur secara tegas dalam ART NU Pasal 40 ayat (1) huruf e. Disebutkan bahwa Ketua Umum merupakan mandataris Muktamar karena dipilih oleh para muktamirin, sehingga posisinya tidak dapat diganggu gugat oleh forum organisasi yang tingkatannya lebih rendah.
“Sebagai Mandataris Muktamar, Ketua Umum tidak dapat diberhentikan kecuali terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap AD/ART, dan keputusan tersebut hanya dapat diambil melalui Muktamar Luar Biasa sebagaimana ketentuan Pasal 74 ART,” demikian pernyataan resmi kubu Gus Yahya.
Kubu Gus Yahya juga menolak penggunaan Peraturan Perkumpulan Nomor 13 Tahun 2025 Pasal 8 sebagai dasar pemberhentian, karena ketentuan tersebut dinilai tidak berlaku bagi Ketua Umum yang dipilih langsung oleh Muktamar. Oleh sebab itu, keputusan Rapat Harian Syuriyah yang diklaim memberhentikan Ketua Umum dianggap tidak memiliki legitimasi hukum.
Selain menyoroti dugaan pelanggaran prosedur, pihak Gus Yahya juga menilai alasan pemberhentian yang disampaikan kubu Syuriyah hanya bersandar pada tuduhan tanpa adanya proses klarifikasi maupun pembuktian. Bahkan, mereka menyebut terdapat dugaan pelanggaran yang justru dilakukan Rais Aam PBNU terhadap Muqaddimah Qanun Asasi, Khittah NU, AD/ART, dan sejumlah peraturan organisasi.
Dalam surat tersebut, kubu Gus Yahya turut menyinggung Peraturan Perkumpulan Nomor 10 Tahun 2025 Pasal 15 ayat (3) yang menegaskan bahwa keputusan Rapat Harian Syuriyah hanya mengikat pengurus harian unsur Syuriyah. Dengan demikian, Ketua Umum PBNU tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti keputusan tersebut.
“Atas dasar itu, kami memohon kepada Kementerian Hukum RI agar tidak mengesahkan perubahan apa pun pada susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama masa khidmat 2022–2027, sampai terbentuk kepengurusan baru melalui Muktamar NU yang sah dan sesuai ketentuan AD/ART,” tulis pihak Gus Yahya.
Surat keberatan ini muncul setelah kubu Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menggelar rapat pleno di Hotel Sultan pada Selasa (9/12) malam, yang dalam klaim internal mereka menetapkan Penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU menggantikan Gus Yahya. Namun kubu Gus Yahya memastikan bahwa keputusan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah menurut peraturan organisasi. *





