Pemerintah kembali menghidupkan agenda redenominasi Rupiah sebagai upaya memperkuat stabilitas makroekonomi nasional di tengah dinamika global yang semakin kompleks. Rencana penyederhanaan satuan harga Rupiah ini dipastikan akan mulai dibahas melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah, setelah sempat tertunda selama lebih dari satu dekade.
Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa pembahasan landasan hukum redenominasi akan menjadi prioritas dalam waktu dekat. Langkah tersebut sejalan dengan target Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menempatkan penyelesaian RUU Redenominasi pada periode 2026–2027. Target ini tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.
Dilansir dari CNBCIndonesia, Dalam dokumen tersebut, redenominasi tidak hanya dimaknai sebagai upaya merapikan tampilan nominal mata uang dengan mengurangi digit nol, tetapi juga diarahkan pada tujuan strategis yang lebih luas. Beberapa di antaranya adalah meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, memperkuat daya saing, menjaga kesinambungan pertumbuhan, meningkatkan kredibilitas Rupiah, serta memperkuat daya beli masyarakat.
Sebagai pelaksana teknis, Direktorat Jenderal Perbendaharaan ditunjuk sebagai penanggung jawab penyusunan RUU Redenominasi, dengan target finalisasi kerangka regulasi pada tahun 2026.
Gagasan redenominasi sebenarnya bukan hal baru. Inisiatif ini telah muncul sejak 2010 dan sempat dibawa ke DPR pada era Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Ketika itu, usulan skema yang diajukan adalah penghapusan tiga digit nol, misalnya Rp1.000 menjadi Rp1, tanpa mengubah nilai tukar ataupun daya beli masyarakat. Artinya, meski harga-harga akan terlihat lebih kecil secara nominal, nilai ekonominya tetap sama.
Kajian mendalam mengenai redenominasi juga telah dituangkan dalam Indonesia Treasury Review tahun 2017. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa penyederhanaan nominal Rupiah menawarkan beberapa keuntungan, antara lain:
-
Memperringkas transaksi dan pembukuan, terutama bagi sektor perbankan dan korporasi besar.
-
Menurunkan risiko kesalahan penulisan atau input angka dalam transaksi.
-
Mempermudah kebijakan moneter, karena rentang harga dan inflasi dapat dibaca lebih presisi.
-
Mengurangi biaya percetakan uang dengan variasi nominal yang lebih sedikit, serta memperpanjang umur penggunaan koin.
Meski demikian, keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada tahapan pelaksanaan yang sistematis dan bertahap. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa proses ini memerlukan komunikasi publik yang intensif, koordinasi lintas lembaga, dan situasi ekonomi yang stabil.
Dalam konteks perdagangan global yang semakin terintegrasi dan volatilitas dolar AS yang terus menekan, redenominasi dipandang sebagai salah satu upaya memperkuat posisi Rupiah, baik di ranah domestik maupun internasional.
Jika rencana ini berjalan sesuai skenario, ke depan masyarakat dapat melihat perubahan nominal yang signifikan. Misalnya, harga emas yang kini berkisar Rp2.000.000 per gram, kelak dapat tertulis hanya Rp2.000 per gram—tanpa mengubah nilai ekonomi sesungguhnya. *






