Makassar – Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah. Ia menilai putusan tersebut berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 22E.
Dalam pernyataannya di Makassar, Jumat (4/7/2025), Ahmad Muzani menegaskan bahwa UUD 1945 mengatur pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali secara serentak, mencakup pemilihan Presiden, DPR RI, DPD, serta DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Menurutnya, pemisahan jadwal pemilu sebagaimana diputuskan MK justru menggeser pelaksanaan pemilihan kepala daerah hingga dua setengah tahun setelah pemilu nasional.
“Di dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun untuk memilih DPR RI, DPD, DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Kami baca, pilkada dan pemilihan DPRD baru akan dilaksanakan dua setengah tahun setelah pemilihan Presiden dan DPR RI,” ujar Muzani.
Ia pun mempertanyakan keabsahan konstitusional dari perubahan tersebut dan mengkhawatirkan dampaknya terhadap sistem ketatanegaraan.
“Pertanyaannya, apakah keputusan ini tidak berpotensi justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa pemilihan itu dilaksanakan sekali dalam lima tahun?” sambungnya.
Muzani menyebut, Partai Gerindra menilai putusan MK itu justru dapat memunculkan persoalan baru dalam praktik demokrasi di Indonesia. Menurutnya, perubahan mekanisme pemilu ini berpotensi mereduksi semangat konstitusi yang menekankan keserentakan pemilu.
“Pandangan kami, keputusan Mahkamah Konstitusi ini justru berpotensi menimbulkan problem baru terhadap Pasal 22E UUD 1945, yang menyebutkan bahwa setiap lima tahun sekali diadakan pemilihan umum untuk memilih Presiden, DPR RI, DPD, dan DPRD kabupaten/kota, termasuk gubernur dan wali kota,” jelas Muzani.
Lebih lanjut, ia mengkritik inkonsistensi MK dalam menetapkan arah penyelenggaraan pemilu. Menurut Muzani, keputusan mengenai pemilu serentak sebelumnya juga merupakan hasil putusan MK.
“Pemilu yang serentak—Presiden, DPR RI, DPD, DPRD kabupaten/kota dan provinsi—itu kan dulu menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi agar pemilu dilaksanakan secara serentak. Kemudian kita mengikuti keserentakan seperti yang diminta MK, dan sekarang MK berubah lagi terhadap keputusan ini,” tutupnya.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini menuai perhatian sejumlah pihak karena mengubah pola pelaksanaan pemilu yang selama ini digelar serentak. Beberapa kalangan menganggap perubahan ini dapat berdampak terhadap efisiensi, legitimasi politik, dan stabilitas demokrasi di Tanah Air.